Perencanaan Pembelajaran Adaftif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Pengertian Pembelajaran Adaftif

Pembelajaran adaftif merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga sanggup dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kaprikornus Pembelajaran adaptif bagi Anak Berkebutuhan khusus hakekatnya ialah Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab di dalam pembelajaran adaptif bagi Anak Berkebetuhan khusus yang dirancang ialah pengelolaan kelas, jadwal dan layanan.

Pendidikan Luar Biasa ialah pendidikan biasa yang dirancang, diadaptasikan sesuai dengan karakteristik masing-masing kelainan anak sehingga memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan khusus.

Rancangan Pendidikan Luar Biasa ialah terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kelas, jadwal dan layanan. Ketiga komponen tersebut bila dirancang dengan baik dan tepat akan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Dengan demikian Pendidikan Luar Biasa ialah Pembelajaran yang dirancang untuk merespon atau memehuni kebutuhan anak dengan karakteristik yang unik dan tidak sanggup dipenuhi kurikulum sekolah biasa, sehingga perlu disesuaikan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

 
Prinsip pembiasaan dalam pembelajaran

Yang membedakan antara pembelajaran yang ramah terhadap anak berkebutuhan khusus dan pembelajaran konvensional ialah setting pembelajaran yang adaptif untuk semua peserta didik. Telah disepakati bahwa setiap peserta didik mempunyai perbedaan individu, namun terdapat toleransi sejauh mana pembelajaran  itu dibutuhkan adaptasi. Jika pembelajaran konvensional telah mengakomodasi semua kebutuhan khusus peserta didik, maka pembiasaan tidak diperlukan.  Variabel pembiasaan sangat tergantung dari jenis dan tingkat karakteristik peserta didik khususnya kelainan yang disandang, baik kelainan fisik, emosi, sosial dan intelektual.

Adaptasi tersebut mempunyai empat tahap sebagai berikut:
 
1.Melakukan duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan taktik pembelajaran pada anak ”normal” ke dalam pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus tanpa melaksanakan perubahan, penambahan,  dan pengurangan apa pun.

2.Modifikasi terhadap materi, media  dan taktik pembelajaran yaitu sebagian atau keseluruhan materi, media, mekanisme dan taktik pembelajaran yang dipergunakan pada pembelajaran anak “normal” disesuaikan sedemikian rupa sehingga baik materi, media, dan taktik pembelajarannya sesuai dengan karakteristik anak.

3.Substitusi, yaitu mengganti materi, media, dan taktik pembelajaran yang berlaku pada  pembelajaran anak “normal”, bahkan mengganti  mata pelajaran  tertentu, contohnya mata pelajaran menggambar untuk anak tunanetra diganti dengan apresiasi seni bunyi atau sastra. Memberikan pelengkap pembelajaran/ kegiaatan ekstra kurikuler yang berkaitan dengan acara kompensatif yang tidak ada pada kurikulum reguler. Misalnya kursus  orientasi mobilitas, Activity of dailly living (ADL), computer bicara, terapi wicara, bina gerak, bina diri dan sosial, bina komunikasi, dll.

4.Omisi, yaitu penghilangan  materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak “normal”. Hal tersebut dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak sanggup dilakukan, misalnya   meniadakan materi pembiasan, proyeksi warna,   pada mata pelajaran tertentu, dan lain sebagainya. Prinsip  terakhir tersebut jarang dilakukan oleh sebagian besar pendidik, dengan pertimbangan  sesulit apa pun semua materi tetap diberikan tetapi menurunkan  sasaran daya serap pembelajaran. Misalnya materi pembiasan pada peserta didik tunanetra, seyogyanya pendidik tetap menyampaikannya  secara informatif, alasannya ialah sanggup bermanfaat untuk komunikasi dengan anak “normal” lain. Sekalipun konsep dipahami secara verbalisme namun dimanfatkan dalam berkomunikasi dengan peserta didik lain.


Berbagai model adaptasi

Berdasarkan grand design pendidikan inklusi nasional yang telah disepakati di Palembang tanggal  27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusi ialah adaptasi. Adapun pembiasaan itu mencakup kurikulum, pembelajaran, media dan alat pembelajaran, materi ajar,  evaluasi serta pelaporan hasil belajar.
Dalam makalah ini pembahasan pembiasaan pembelajaran, media/ alat, materi ajar, evaluasi dan hasil berguru akan dikemas dalam satu bahasan yaitu pembiasaan pembelajaran sehingga secara substansional yang amat dibutuhkan dalam pembiasaan pada pendidikan inklusi ialah pembiasaan kurikulum dan pembiasaan pembelajaran.

A. Adaptasi Kurikulum

1) ABK (anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata sanggup memakai kurikulum reguler.
2) ABK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) sanggup diikutkan jadwal akselerasi.
3) ABK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) sanggup memakai mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik ABK.
4)Jenis ABK tertentu memerlukan jadwal kurikulum plus yaitu jadwal kurikulum pelengkap yang bersifat rehabilitatif-kompensatif  dan tidak ada di sekolah reguler. Adapun kurikulum plus itu adalah:
• Tunanetra à  orientasi dan mobilitas, Braille
• Tunarungu à bina wicara
• Tunagrahita à bina diri
• Tunadaksa à  bina gerak
• Tuna laras à bina sosial/ pribadi
• Autis à bina komunikasi dan social.
• Gifted à akselerasi dan pengayaan
5) ABK yang tidak bisa mengikuti alternatif a), b), c) di atas sanggup dipakai jadwal pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik ABK secara individual. Adapun pola yang sanggup diterapkan sebagai berikut:
•Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
•membuang sebagian kompetensi dasar
•Menggunakan cuilan awal dan membuang di cuilan selesai baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan.
•Membuang cuilan awal dan menggunakan  di cuilan selesai baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan.

B. Adaptasi  Pembelajaran
 
Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.

1) Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik.  Adaptasi yang  sanggup dilakuan ialah sebagai berikut:
(a) mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun PLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
(b) Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.
(c)  Adaptasi materi pelajaran
Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menjadikan kesulitan sebagai jawaban eksklusif dari kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh sanggup disajikan hal-hal sebagai berikut :
(1)  Anak tunanetra mempunyai keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar sanggup disesuaikan dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual disesuaikan dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail gres kemudian global.
(2)  Anak tunarunguwicara mempunyai keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan acara bina wicara mereka masih bisa berbicara secara terbatas  sekalipun mereka  tidak sanggup mendengar terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan.
Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar-gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan Hindarkan kata-kata yang belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.
(3)   Anak tunagrahita, (antara lain lamban belajar) kesulitan yang amat menonjol ialah fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban berguru bila dibanding dengan sobat rata-rata lain sanggup hal-hal sebagai berikut:
• Materi disajikan dalam bobot yang berbeda dengan sobat rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
• Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara ajaib harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-ulang.
• Adaptasi materi pelajaran hanya dilakukan terhadap materi-materi yang menjadikan kesulitan anak.
(4)  Bila dalam kelas terdapat peserta didik  gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/ diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit. Percepatan (akselerasi)  penyajian materi secara vertikal dimungkinkan  dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu pada selesai tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya bergotong-royong masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih  cepat bila dibanding dengan anak seusianya.
(5)   Anak dengan variabel ketunaan yang lain contohnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan pembiasaan materi pelajaran.

(d) Untuk menghadapi banyak sekali hambatan perlu pembiasaan media, alat dan materi ajar.
Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil pembiasaan yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan keuntungannya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu dengar untuk anak tunarunguwicara.
Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini ialah pembiasaan yang setiap ketika sanggup melaksanakan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui pembiasaan tersebut anak dengan kebutuhan khusus sanggup melakukan/ merasakan/ mengamati menyerupai apa yang dilakukan oleh belum dewasa lain.

Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin sanggup diterapkan dalam pembelajaran:
(1)   Adapatasi materi ajar
•    untuk peserta didik tunanetra sanggup materi asuh disesuaikan dengan buku braille, buku bicara, buku digital, dll
•    untuk peserta didik tunarungu sanggup disertai gambar/ visualisasi yang sanggup mewakili narasi/ teks.
(2)   Dalam mempelajari berdiri geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra sanggup meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.
(3)   Anak lamban berguru menulis harus dilihat masalah demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak sanggup membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
(4)   Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
(5)   Anak polio (kursi roda) dibutuhkan dingklik dan meja yang sanggup dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk menempatkan dingklik roda.
(6)   Penempatan sarana dan alat/ buku-buku gampang dijangkau untuk semua anak
(e) Karakteristik peserta didik mencakup perbedaan individual dalam hal fisik (fisik normal, tunanetra, tunarungu, dunadaksa, warna kulit, ras, dll); emosi dan sosial (anak soleh, anak nakal, autis, maldjusted,  anak miskin, anak beresiko, dll); intelektual (anak cerdas, rata-rata, anak bodoh, tunagrahita); kepribadian (introvert, ekstrovert, dll); minat; bakat; dll.

2) Metode pembelajaran terdiri dari taktik pengorganisasian, metodologi, dan pengelolaan.
Berkaitan dengan metode pembelajaran sanggup dilakukan beberapa pembiasaan antara lain:
a)   Adaptasi  waktu pembelajaran
Akan lebih bijaksana bila dalam dukungan setiap kiprah ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi menyerupai yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan kelonggaran 20% dengan waktu yang dipakai oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara diberikan kesempatan yang longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban berguru berhitung, bila pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu hendaknya diberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelambanannya atau jumlah soal dikurangi.
b)   Adaptasi pengelolaan kelas
Dalam pengorganisasian kelas membutuhkan taktik yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan daerah duduk terhadap belum dewasa yang mengalami kelainan harus mendapat prioritas khusus, sehingga mereka menyerupai halnya sobat yang lain. Tanpa pembiasaan pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan sobat yang lain.
Dibawah ini daerah duduk yang disarankan untuk anak dengan kebutuhan khusus.
                        
  O  O          O  O          O  O    
                    
  O  O          O  O         O  O    
                    
  X  O          O  X          X  O    
                    

Keterangan:
X ialah daerah duduk anak dengan kebutuhan khusus
O ialah daerah duduk anak rata-rata/ normal
V meja/ dingklik pendidik

Pembuatan kelompok belajar/ kelompok apapun sebaiknya anak dengan kebutuhan khusus tidak dijadikan satu kelompok , mereka harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan kebutuhan khusus masih sanggup mengerjakan tugas-tugas menyerupai anak yang lain sekalipun minimal, mereka mendapat kiprah menyerupai anak yang lain. Kelas-kelas yang terdapat peserta didik berkelainan sebaliknya jangan diciptakan situasi berguru yang kompetitif, namun hendaknya anak yang unggul sanggup dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh belum dewasa yang berkelainan secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif maka anak dengan kebutuhan khusus akan selalu ketinggalan dan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya

c) Adaptasi  metodologi
Adaptasi  metodologi bergotong-royong tidak akan membebani  pendidik dan peserta didik lain, namun justru akan lebih menguntungkan anak normal pada umumnya, disamping sanggup melayani anak dengan kebutuhan khusus pada khususnya. Proses pembelajaran dengan banyak sekali metode telah dikuasai oleh seluruh pendidik, namun pembiasaan yang bisa menyentuh anak dengan kebutuhan khusus dalam kelas reguler memang memerlukan kecermatan tersendiri.

Di bawah ini beberapa saran yang sanggup dipertimbangkan:
1) Metode pembelajaran untuk anak reguler pada prinsipnya sanggup diterapkan terhadap peserta didik  berkebutuhan khusus dengan meadaptasi  semoga sesuai dengan karakteritik anak, tanpa mengurangi hak-hak anak reguler..
2) Metode ceramah: kata-kata aneh atau kata lain yang belum dikenal hendaknya pendidik mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara ucapan dengan goresan pena berbeda maka pendidik harus mengeja karakter demi huruf.
Contoh:
•    Kalau (kalo) , what  pendidik tidak mengeja anak tunanetra akan menulis kalo, wot , dll,
• Untuk anak tunarungu ketika berbicara memakai metode ceramah jangan membelakangi anak, jikalau perlu ditulis di papan tulis kemudian anak disuruh menirukan berulang-ulang. hindarkan penggunaan metode ceramah tanpa dilengkapi dengan demonstrasi di depan  kelas , bagan di papan tulis, atau tanpa dilengkapi dengan gerakan anggota tubuh yang mendukung. Hindarkan pembicaraan yang membelakangi peserta didik/ menghadap papan tulis. Hal ini anak tidak akan sanggup menangkap kesan melalui membaca bibir.  Karena anak ini menyerap proses pembelajaran persentase terbesar ialah sejauh yang mereka lihat. Pembicaraan dengan istilah gres sebaiknya ditulis dipaan tulis
3)  Metode demonstrasi  untuk anak tunanetra tidak  boleh dilakukan dengan visualisasi, tetapi yang didemonstrasikan pendidik harus sanggup didengar, diraba, dirasakan anak. Untuk anak tunagrahita berikan kesempatan untuk mendemosntrasikan dengan instruksi pendidik atau  sobat lain.
4)  Praktikum di laboratorium IPA, seklipun anak tunanetra tidak sanggup melihat proses kimiawi, tetapi anak harus diberi informasi setiap perubahan yang terjadi jikalau perlu anak tunanetra diberi kiprah mencatat kejadian yang diucapkan sobat kelompoknya.
5) Peragakan setiap gejala/ fakta  secara individual, upayakan setiap anak  berkebutuhan khusus peserta satu alat peraga. Berikan waktu yang cukup untuk mengidentifikasi secara keseluruhan. peserta satu alat peraga. Berikan waktu yang cukup untuk mengidentifikasi secara keseluruhan. Rangsang anak untuk mengasosiasikan benda tersebut dengan benda/ fakta/ tanda-tanda lain.
6)  Bila dalam kelas terdapat anak tunanetra hindarkan kata-kata ini, itu, untuk mewakili suatu konsep tertentu. Ini ,itu yang dimaksud harus diucapkan lengkap dengan bahasa ujaran, sehingga anak tunanetra memahami. Misalnya ini ditambah ini sama dengan ini alangkah bijaksana bila disesuaikan menjadi dua ditambah empat sama dengan enam.
Garis AB = 8 cm , Garis AC = 6 cm, berapa panjang garis BC bila segitiga itu siku-siku?. Akan lebih terperinci bila soal itu diadaptasikan menjadi  menjadi Sisi tegak AB = 8 cm, sisi bantalan AC = 6 cm, berapa panjang sisi miring BC, bila segi tiga itu siku-siku?
3) Hasil pembelajaran  ialah semua efek yang sanggup dijadikan sebagai indikator wacana nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda. Efek ini bisa berupa efek yang sengaja dirancang, alasannya ialah itu ia merupakan efek yang diinginkan, dan bisa juga berupa efek nyata sebagai hasil penggunaan metode pembelajaran tertentu. Bila pola pembelajaran ialah pada efek atau hasil pembelajaran yang diinginkan, maka hasil ini harus ditetapkan lebih dulu sebelum memutuskan metode pembelajaran.  Hasil pembelajaran sanggup diketahui melalui evaluasi hasil belajar.

a) Adaptasi menilai hasil belajar
 
(1) Tunanetra
(a) Tunanetra total
•    Menghindari penggunaan kata-kata visual.
•    Gambar dua dimensi disajikan dalam bentuk gambar timbul/ taktual.
•    Benda-benda tiga dimensi disajikan dalam bentuk orisinil atau model.
•    Tambahan  waktu  sedikitnya 20% dari waktu yang ditentukan.
•    Semua indra non visual dimanfaatkan untuk keperluan penilaian.
•    Penilaian kinerja dengan memperhatikan kemampuan anak.
•    Posisi daerah duduk anak memperhatikan kemampuan indra pendengaran.
 
(b) Low Vison.
•    Memperhatikan kemampuan visual (ketajaman penglihatan) yang dimiliki anak
•    Posisi daerah duduk anak memperhatikan hal-hal berikut ini:
o    jarak
o    ukuran
o    pencahayaan
o    kekontrasan
o    Penilaian kinerja dengan memperhatikan kemampuan anak.
o   Menggunakan alat bantu optik atau non optik yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak.
 
(2)  Tunarungu
•  Menggunakan bahasa yang singkat dan jelas.
•  Banyak memakai prinsip keterarahan wajah, keterarahan bunyi dan keperagaan.
•  Menggunakan gambar-gambar, grafis, dan komunikasi total.
•  Hindari tes yang bersifat listening diganti tes yang sesuai dengan kondisi siswa.
•  Menilai kemampuan berbahasa dengan mempertimbangkan usang pendidikan siswa (tidak dilihat dari umurnya atau jenjang kelasnya).
•  Memperhatikan derajat sisa indera pendengaran siswa (kurang dengar ringan, kurang dengar berat atau tergolong tuli)
• Mempertimbangkan pemakaian alat bantu mendengar (ABM) lamanya pemakaian, jenis, kondisi, dan keteraturan pemakaian.
•  Menilai kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif siswa dilakukan secara seimbang.
 
(3)  Tunagrahita
•    Menggunakan bahasa yang singkat, sederhana dan gampang dipahami.
•    Menggunakan alat peraga yang menarik.
•    Dilakukan secara individual.
•    Disajikan dalam bentuk angka dan diskripsi/ narasi.
•    Dilakukan sepanjang waktu dan tidak dibandingkan dengan siswa yang lain.
•    Tidak ada ranking.
 
(4)  Tunadaksa
•  Guru harus pintar memahami karakteristik siswa terutama bila siswa menjawab pertanyaan guru secara ekspresi (jangan menyalahgunakan jawaban siswa) alasannya ialah pada umumnya siswa tunadaksa (CP) biasanya mengalami hambatan bicara.
•    Pada umumnya siswa Tunadaksa mengalami hambatan koordinasi mata, tangan, dan juga mengalami tremor, ataxia, sehingga evaluasi jangan menitikberatkan untuk tes tertulis.

b)  Prinsip evaluasi pada pendidikan inklusi

1)  Terhadap anak reguler dan atau anak berkebutuhan khusus dengan pembiasaan pembelajaran tidak menjadikan problem (tidak memerlukan PPI), maka kreteria penilaiannya memakai kreteria peserta didik reguler.
 
2)  Terhadap anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa memenuhi sasaran kurkulum reguler sekalipun telah diadaptasi, maka kreteria penilaiannya menurut PPI yaitu berapa persen daya serap atau pencapaian tujuan yang telah disusun dalam PPI,  itulah nilai yang diperoleh.
 
3)  Jika setiap anak berkebutuhan khusus di kelas itu memerlukan  PPI yang berbeda, maka penilaianya atas dasar  pencapaian tujuan masing-masing PPI untuk masing-masing anak.
 
4)  Hal ini dimungkinkan setiap anak mendapat nilai yang baik, sekalipun kemampuannya berbeda-beda.
Misal:
Andià IQ 110à kurIkulum reguler à nilai matematika à 8
Edi à IQ 100à tunanetraà kurikulum reguler à
adaptasi pembelajaran à nilai matematika à 8
Wuri à IQ 60à PPI à nilai matematikaà 8
Nilai 8 di atas berbeda proses pembelajarannya dan berbeda pula kompetensi yang dicapai.
 
5)  Jika evaluasi dilakukan secara kuantitatif, maka untuk membedakan evaluasi atas dasar  individu yang kenai PPI hendaknya dilampiri evaluasi porto folio. Porto folio yaitu  penilaian  hasil kerja seseorang yang sistematis dalam satu periode tertentu.  Kumpulan hasil kerja ini menunjukkan prestasi dan keterampilan/ kompetensi yang dicapai seseorang. Kumpulan hasil kerja diperbaharui dan berkelanjutan untuk melihat perkembangan keterampilan/ kompetensi sehingga terlihat perbedaan-perbedaan kualitas dari waktu ke waktu, yang tidak terlihat dari hasil pengujian.
 
6) Pengumpulan dan evaluasi hasil kerja sebaiknya terus menerus dijadikan titik sentral jadwal pengajaran.
 
c) Pelaporan
• Setiap pelaporan evaluasi PPI untuk kepentingan kelas, forum pendidikan, maupun orang bau tanah peserta didik hendaknya selalu dilampiri portofolio. Hal ini dimaksudkan semoga para pembaca khususnya orang bau tanah dan masyakat tidak salah persepsi terhadap kompetensi peserta didik yang sesungguhnya.
• Pemberian nilai dalam rapor dan ijasah hendaknya semua mata pelajaran dilengkapi dengan deskripsi  kompetensi yang telah dicapai anak, sehingga dengan nilai kuantitatif (misal 8), orang akan mengetahui bahwa nilai 8 itu delapan yang berbeda dengan 8 anak reguler.

Referensi :
Ballard, K (1995) Inclusion Paradigms, Power and participation in C Clark, A Dyson and A Millward (eds) Towards Inclusion schools ? : David Fulton
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004). Mengenal Pendidikan Terpadu, Depdiknas, Jakarta
Hallahan Daniel P dan James Kaufman,  (1998) Introduction  to Special  Education, University of Virginia
Linda Shaw, (1998) Inclusive Education a Human Rights Issue, CSIE Bristol
Subagya, (2007), Modifikasi sebagai taktik pembelajaran pada sekolah inklusi, Materi diklat TOT bagi calon pelatih Pendidikan Inklusi, International Rescue Committe,  Banda Aceh
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 wacana Sistem  Pendidikan Nasional.


Sumber https://paud-anakbermainbelajar.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Perencanaan Pembelajaran Adaftif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus"

Posting Komentar