Implikasi Konvensi Hak Anak Dalam Acara Di Forum Sekolah

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
PAUD-Anakberminbelajar---anak dimanapun mereka berada, mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, tumbuh kembang anak dijamin dalam setiap aturan dan perundang-undangan yang ada hampir disemua negara. Demikian halnya di Indonesia, setelah konvensi hak anak yang dicanangkan maka hak-hak anak, hendaknya sanggup dijamin dan lebih diperhatikan demi masa depan penerus bangsa ini. Dimulai disekolah-sekolah dengan melibatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung terhadap hak-hak anak, maka secara pribadi ataupun tidak pribadi bawah umur yang bersekolah dilembaga pendidikan tertentu harus dijamin dan dilindungi hak-hak mereka.

a. Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak bekerja kini memakai sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya menjadi lebih banyak.

Krisis ekonomi menciptakan semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga menciptakan banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam teladan masalah diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu klarifikasi lebih jauh, positif saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk sanggup mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, kalau anak putus sekolah, maka dilema penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akhir krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.

b. Pandangan terhadap Anak yang Tidak Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, kalau dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi bawah umur merupakan sesuatu yang niscaya, tidak sanggup tidak dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibuat oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa semoga berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak sanggup digugat.

Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya kalau anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan orangtuanya, yaitu sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM. yang berpandangan menyerupai itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang beropini bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa anak seharusnya dihentikan dipekerjakan.
Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa kini dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sesungguhnya telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.

Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa oleh lantaran faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi setelah masa revolusi industri menciptakan pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara mengenai wajib belajar.

Menggunakan masalah perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak menyerupai disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita sanggup menduga bahwa bukannya mustahil kalau kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja yaitu suatu malu yang tidak sanggup ditolerir.

c. Penetapan Standar dan Perubahan Pandangan Masyarakat
Selain lantaran perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga sanggup disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, bawah umur wanita dianggap sebagai malu dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak perempuan.
Tadi telah disinggung ihwal kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib mencar ilmu melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu contohnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai gres dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis. Nilai yang gres menciptakan orang menjadi merasa bersalah apabila melaksanakan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa hukuman bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib mencar ilmu (dalam teladan ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang sanggup diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan menyerupai itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).

Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan (enforcement) sanggup dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke sekolah, sanggup dikenai hukuman tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan menciptakan masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak mudah sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran aturan namun juga sebagai penyimpangan sosial dan moral. Kaprikornus penegakan aturan pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak.

Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang berkekuatan hukum, kalau diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan sikap sosial. Dengan kata lain, penetapan standar sanggup membawa perubahan terhadap sikap dan pandangan masyarakat.

d.Konsep Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, kalau dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula kalau dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan menyerupai ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari banyak sekali pekerjaan yang berdampak jelek bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya.

Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh banyak sekali faktor dan sanggup berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan.

Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh lantaran itu masyarakat pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa kalau orangtua menjual, menganiaya, ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon yang paling menderita yaitu anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.

Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen menyerupai yang kita kenal ketika ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim aturan nasional yang tunggal, sistim aturan nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek aturan yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan kawasan kelahiran Negara Kebangsaan moderen, gres pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah masa setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, aturan perdatanya yang menawarkan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi.

Kita ketahui pula, bahwa hingga ketika inipun kewenangan publik untuk melaksanakan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun didalam perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang berkekuatan aturan yang pasti untuk menawarkan ganjaran pidana bagi orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak — setidaknya didalam enforcementnya.

e. Penetapan Standar Internasional dibidang Hak Anak
Penetapan standar sanggup dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun sanggup juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua negara di dunia.

Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun 1919, ILO menciptakan Konvensi yang memutuskan batas usia minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, lantaran mandat organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.

Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan Belanda, aturan Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi ihwal kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang memutuskan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga ketika ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini memutuskan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu.

Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas kalau dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan tahun 1924.

Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional ihwal Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum.
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB mendapatkan dengan bunyi lingkaran naskah simpulan Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai aturan internasional pada tahun berikutnya, 1990.

Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi semenjak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang sanggup disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang pribadi maupun tidak pribadi membawa dampak pula bagi perkembangan konsep ihwal hak anak. Singkatnya, Konsep ihwal hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.

Isi Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk sanggup mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang terkenal ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.

Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni tubuh yang dibuat untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus.

Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak yaitu kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap kategori yaitu sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak yaitu subyek aturan yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.

Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39. Mengatur relasi anak dengan orangtua/ keluarganya, baik relasi ekonomi-sosial-budaya maupun relasi sipil dan relasi hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama kalau orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak kalau orangtuanya berpisah, hak anak kalau ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang berilmu balig cukup akal lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.

Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3. Memberikan kepada bawah umur hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.

Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31. Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.

Perlindungan Khusus: Terdiri atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36. Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melaksanakan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi bawah umur dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat watak (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini mencakup baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.

Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak.

Konvensi Hak Anak, lantaran sifat yang cakupannya, membawa wangsit yang radikal terhadap anak sebagai insan dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap bawah umur namun juga terhadap sesama insan lainnya.

Implementasi Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa efek pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak).

Berdasarkan sifatnya, aturan internasional termasuk aturan internasional dibidang HAM (KHA yaitu belahan integral dari aturan internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan aturan swasta.
Penegakan aturan internasional dibidang HAM, semoga bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan mentransformasikan aturan internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan didalam aturan nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari aturan HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — menyerupai Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa semoga diimplementasikan di tingkat nasional).

Dalam kaitan ini, lantaran Republik Indonesia sudah ikut menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah aturan nasional Indonesia.

Dalam wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik (generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya merupakan turuna atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga kewajiban generik dimaksud ialah:
• Kewajiban untuk menghormati (respect)
• Kewajiban untuk melindungi (protect)
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif gampang dan murah, lantaran hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terealisasi sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melaksanakan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melaksanakan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melaksanakan pencurian. Kiranya tidak perlu klarifikasi panjang lebar, tidak melaksanakan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan masalah gampang dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.

Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk menawarkan pertolongan semoga anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan menawarkan hukuman (biasanya hukuman pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan dengan menciptakan aturan aturan di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan aturan nasional yang ada semoga sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi pertolongan semoga tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara menyerupai ini dikenal juga sebagai “efek horizontal dari aturan HAM internasional” (horizontal effect of international human rights law). Misalnya, Negara menciptakan aturan gres atau menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan menawarkan hukuman terhadap satpam yang telah melaksanakan tindakan main hakim sendiri tersebut.

Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk menawarkan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, kalau ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar aturan pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain lantaran implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam teladan masalah tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, terang membutuhkan biaya (untuk gaji, manajemen kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil.

Demikian ihwal implikasi konvensi hak anak dalam kegiatan di forum sekolah, khususnya dilembaga-lembaga PAUD kita, semoga sanggup menjadi materi perenungan dan masukan untuk memilih kegiatan yang sanggup mendukung hak-hak anak kita di sekolah. terimakasih. semoga bermanfaat.

Sumber https://paud-anakbermainbelajar.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Implikasi Konvensi Hak Anak Dalam Acara Di Forum Sekolah"

Posting Komentar