Fiqh Puasa: Apa Saja Yang Membatalkan Puasa?

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Assalamualaikum wr.. wb. ikhwah wa akhwat yang dirahmati Tuhan SWT. Selamat tiba di blog sederhana ini. Blog ini dibentuk untuk menyebarkan seputar dunia islam, goresan pena di blog ini bukan goresan pena saya pribadi, alasannya yaitu saya bukan orang yang berkafaah dalam hal syar'i jadi saya mengutip dari banyak sekali web-web islam yang ada. Dan akan saya sertakan sumber dari goresan pena diblog ini sebagai bentuk tanggung jawab acuan yang saya pakai.

Nah, artikel kali ini kita akan membahas mengenai hal-hal apa saja yang sanggup membatalkan puasa, mengingat puasa merupakan sauatu amalan yang sangat luar biasa disisi Tuhan SWT. Bahkan Tuhan sendiri yang menyampaikan bahwa amalan hambaKu yaitu untuk dirinya, sementara puasa alaha untuk Aku, kata Tuhan SWT. 

Nah, kita perlu mengatahui hal-hal yang membatalkan puasa supaya puasa kita bisa tepat dan kita tidak melaksanakan hal yang membatalkan puasa tersebut. Berikut ini yaitu penjelasannya:

 ikhwah wa akhwat yang dirahmati Tuhan SWT Fiqh Puasa: Apa Saja yang Membatalkan Puasa?

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa

Ada sejumlah problem yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui goresan pena ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun bahwasanya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan anutan para ulama menyerupai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.

Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melaksanakan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya menyerupai orang yang menjalankan sahur sesudah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah sesudah menjelaskan wacana pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan alasannya yaitu terpaksa).” Kemudian ia rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Tuhan k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Tuhan janganlah Engkau aturan kami jikalau kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya aturan kekafiran terhadap orang yang melaksanakan kekafiran alasannya yaitu dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang bekerjasama dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah yaitu apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai alasannya yaitu tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya yaitu mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat anutan Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)

2. Orang yang muntah bukan alasannya yaitu keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Barang siapa yang muntah alasannya yaitu tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh alasannya yaitu itu, orang yang merasa mual dikala dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, alasannya yaitu hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya alasannya yaitu inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya alasannya yaitu hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, alasannya yaitu hal ini mustahil untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga ekspresi dan dilarang bagi orang yang berpuasa untuk menelannya alasannya yaitu hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan alasannya yaitu keinginannya menyerupai luka atau alasannya yaitu keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah menghipnotis puasa selama menjaga supaya darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan alasannya yaitu keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akhir yang sama dengan melaksanakan berbekam, menyerupai mengakibatkan lemahnya tubuh dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akhir luka di giginya baik alasannya yaitu dicabut atau alasannya yaitu terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia dilarang menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga menciptakan badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup besar lengan berkuasa dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya yaitu keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melaksanakan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, alasannya yaitu pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati yaitu supaya dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, alasannya yaitu obat suntik tidak tergolong kuliner atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa alasannya yaitu dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau indera pendengaran tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan indera pendengaran merupakan kanal ke kerongkongan sebagaimana ekspresi dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar yaitu bahwa keduanya bukanlah kanal yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau indera pendengaran tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya supaya keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511).

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak hingga keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan ia berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan ia puasa, akan tetapi ia yaitu orang yang paling bisa menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ alasannya yaitu syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya yaitu menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya alasannya yaitu Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga ia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan hal-hal yang mencurigai kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)

7. Bagi pria yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan menggunakan wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka dilarang untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga supaya tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu besar lengan berkuasa supaya tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air dikala berwudhu) kecuali jikalau engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935).

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga supaya tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan hingga ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk merasakan cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari klarifikasi para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, yaitu meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita dilarang memilih sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan klarifikasi para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari goresan pena Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul orisinil Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)

(Sumber: http://myedukasiparenting.blogspot.com//search?q=458-10-hal-yang-membatalkan-puasa-dalam-kitab-fathul-qarib)


Sumber http://bagaimana-islam.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Fiqh Puasa: Apa Saja Yang Membatalkan Puasa?"

Posting Komentar