ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Ibu yaitu sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan generasi berketurunan baik
MENJADI ibu yaitu kodrat setiap wanita, tetapi pilihan untuk menekuni diri sebagai ibu rumah tangga bukanlah kiprah yang mudah. Di tengah kepungan budaya Barat dan penjajahan media, kaum perempuan hari ini telah meninggalkan identitas mulianya sebagai ‘benteng ummat’. Sebagian mereka menyibukkan diri dengan urusan-urusan kecil yang remeh, pernak-pernik aksesori dan persaingan gaya hidup modern yang menjauhkan mereka dari keutamaan individu dan sosial. Seorang ibu dengan tampilan ‘wah’ yang bergelut mengejar materi dan status sosialnya akan lebih disegani dibandingkan ibu rumah tangga sederhana yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Hidup di zaman ini membutuhkan ketahanan yang luar biasa. Sebagai muslim, bekal ilmu dan keduniaan yang dikaruniai Yang Mahakuasa Swt seharusnya meyakinkan mereka akan kebenaran petunjuk Yang Mahakuasa yang menegaskan prinsip kesetaraan (gender equality), bahwa kaum ibu bermitra sejajar dengan kaum laki-laki, dalam posisi yang sangat istimewa. Yaitu sebagai pendidik generasi penerus yang akan melanjutkan usaha diri dan keluarganya. Mendidik diri dan keluarganya untuk selalu memahami dan mengikuti bimbingan Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Inilah investasi besar yang sering diremehkan oleh para ‘penikmat dunia’.
Pesan spesial untuk Para Wanita
Salah satu pesan istimewa Yang Mahakuasa Swt kepada kaum perempuan diabadikan dalam ayat berikut; “dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laris menyerupai orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Yang Mahakuasa bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kau sebersih-bersihnya. (QS. 33:33)
Sesungguhnya kemajuan di zaman ini banyak diilhami oleh ayat diatas. Yang Mahakuasa Swt menghendaki kaum perempuan biar berperilaku lemah lembut, pemalu dan penuh kasih sayang kepada orang-orang di sekitarnya, tidak melaksanakan ucapan dan tindakan yang menjadikan godaaan yang akan menjatuhkan martabat kaum wanita.
Karena, kehalusan kebijaksanaan dan tingkah laris perempuan yaitu salah satu pilar utama kehidupan. Ibu-ibu yang shalih akan mendidik anak-anaknya untuk menjadi shalih.
Bahkan, kaum ibu dahulu bisa membangun huruf pribadinya dan melaksanakan banyak sekali aktifitas keilmuan dibalik “tembok sunyi “ yang sanggup menjaga sifat dan rasa malu. Itulah kehendak Yang Mahakuasa atas kaum wanita. Karakter dan psikis perempuan tersebut selaras dengan kondisi fisik yang diciptakan Yang Mahakuasa Swt dalam bentuk yang berbeda dari kondisi yang dimiliki kaum laki-laki. Tubuh perempuan diciptakan dalam bentuk yang sesuai benar dengan kiprah keibuan, sebagaimana dengan jiwanya yang disiapkan untuk menjadi rumah tangga dan ratu keluarga. Secara umum, organ badan wanita, baik yang terlihat maupun yang tidak tersembunyi, otot-otot dan tulang-tulangnya serta sebagian besar fungsi organiknya sampai tingkat yang sangat jauh, berbeda dengan organ badan kaum pria yang menjadi pasangannya. Perbedaan dalam struktur dan organ badan ini tidak lah sia-sia, lantaran tidak ada satu pun benda, baik dalam badan insan maupun yang ada di seluruh jagat raya ini yang tidak mempunyai pesan yang tersirat tertentu.
Fitrah Mulia Kaum Ibu
Dengan perbedaan struktur badan tersebut, kaum perempuan mempunyai perasaan dan emosi yang lebih sensitif. Abbas Mahmud al-‘Aqqad mengatakan. “Adalah sesuatu yang alami bila kaum perempuan mempunyai kondisi emosional yang khusus yang berbeda dengan kondisi yang dimiliki kaum laki-laki”. Keharusan melayani anak yang dilahirkannya tidak terbatas dengan memberi makan dan menyusui. Akan tetapi, dia harus selalu mempunyai hubungan emosional yang menuntut banyak hal yang saling melengkapi antara apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada suaminya.
Pemahaman dirinya dalam suatu duduk kasus harus berhadapan dengan pemahaman suaminya yang mungkin saja berbeda. Bahkan, antara tingkat emosinya dengan emosi suaminya harus benar-benar terjaga keseimbangannya. Seorang ibu yang mulia akan memahami betul dikala bangga dan sedihnya anak-anak. Demikian halnya sang ibu akan mengajarkan dengan suka ria wacana bagaimana memberikan rasa cinta, simpati dan benci kepada orang lain dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.
Sifat-sifat fundamental dalam fungsi pengasahan dan bimbingan terhadap bawah umur ini merupakan salah satu dari sekian banyak sumber kelembutan kewanitaan yang mengakibatkan kaum perempuan lebih sensitif dalam merespon perasaan. Sebaliknya, apa yang tampak gampang bagi kaum pria bisa menjadi sulit bagi kaum wanita, contohnya dalam menggunakan rasio, menyusun pendapat dan mengerahkan kemauan. Itulah fitrah kaum ibu yang bahwasanya mulia tetapi seringkali dipandang kelemahan yang memperdaya.
Salah Paham Memandang Islam
Dalam banyak ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an, Yang Mahakuasa Swt telah meletakkan kedudukan kaum perempuan pada daerah tertinggi dalam sepanjang sejarah kemanusiaan dan akan terus demikian sampai simpulan zaman. Sayangnya, ayat-ayat Yang Mahakuasa yang dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw itu seringkali disalah-tafsirkan, termasuk oleh para ulama kita sendiri. Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam buku Qadhaya al-Mar`ah bayna at-Taqalid ar-Rakidah wa al-Wafidah, dengan yakin mengatakan; “Fatwa populer di kalangan kaum muslimin yang kemudian diambil alih oleh musuh-musuh Islam yaitu tuduhan bahwa Islam telah mendirikan dinding pembatas yang tinggi antara pria dan perempuan, sehingga keduanya tidak sanggup saling melihat satu sama lain. Bahkan sekadar memandang pun hukumnya haram”. Kita juga pernah dikejutkan dengan ucapan seorang khatib yang mengatakan, “wanita dihentikan keluar dari rumahnya kecuali pergi ke rumah suaminya (sesudah menikah) dan ke kuburan (untuk dikuburkan)!
Tentu saja, pedoman dan khutbah tersebut lahir dari pemahaman dan tafsiran terhadap ayat-ayat Yang Mahakuasa dan hadits Nabi Saw yang patut ditinjau ulang. Karena memang, ada duduk kasus dalam fenemona umat Islam berkenaan dengan kemurniaan dan kedalaman riwayat-riwayat hadits yang diterapkan. Diakui, terdapat ulama yang menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak sahih dan para andal fiqh yang tidak memperhatikan perubahan hakikat Islam dan perkembangan zaman. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah Ra bahwa perempuan dihentikan melihat pria dan juga dihentikan dilihat laki-laki, sebagaimana hadits Nabi Saw yang melarang sebagian istri Nabi melihat Abdullah ibn Ummi Maktum. Dalam insiden yang lain, Ummi Hamid; istri Abu Hamid as-Sa’di pernah memberikan perasaan senang hatinya lantaran bisa shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun, ternyata Rasulullah justru menginginkannya untuk shalat di rumah. Bahkan, semakin sempit tempat, jauh dan sunyi, maka semakin sepakat shalat di daerah itu.
Kritik terhadap Monopoli Tafsiran Agama
Semua riwayat tersebut merupakan hadits yang tidak sama dengan hadits yang ditulis para ulama hadits yang otoritatif, lantaran hadits-hadits tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Al-Qur`an dan as-Sunnah. Hadits-hadits semisal itu telah membelenggu kaum perempuan dan menyudutkan kedudukan mereka sebagai golongan terbelakang. Lebih dari itu, kedudukan perempuan yang demikian rendah itu akan mensugesti buruknya sistem keluarga, struktur masyarakat dan prinsip perundang-undangan.
Dalam merespon hal itu, Ibnu Huzaimah melaksanakan uji ulang dan kritik atas tafsiran hadits-hadits tersebut dengan menciptakan pecahan yang menyebutkan duduk kasus “Shalatnya Seorang Wanita di Rumahnya Lebih Baik daripada Shalatnya di Masjid Rasulullah Saw” dan sabda Nabi Saw “Shalat di Masjidku ini Lebih Baik daripada Seribu Kali Shalat di Masjid-Masjid Lain”. Pertanyaan yang segera muncul, yaitu bila ungkapan tersebut benar, mengapa Nabi Saw membiarkan wanita-wanita menghadiri shalat berjamaah bersamanya sepanjang sepuluh tahun, dari fajar sampai isya’. Mengapa mereka tidak dinasihati biar tetap tinggal di rumah-rumah mereka sebagia ganti dari bahaya yang batil itu? Mengapa dia mempercepat shalat fajar dengan membaca dua surat pendek ketika mendengar tangisan anak kecil bersama ibunya sehingga tidak mengganggu hatinya? Mengapa dia bersabda, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Yang Mahakuasa pergi ke masjid-masjid Yang Mahakuasa Swt?
Mengapa pula para Khulafaur Rasyidin menetapkan barisan-barisan perempuan di masjid-masjid setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Barangkali, Ibnu Huzaimah ingin menenteramkan dirinya dan hati kawan-kawannya ketika mendustakan hadits-hadits yang melarang perempuan shalat di masjid-masjid dan menyebutnya sebagai kebatilan. Para ulama Musthalah Hadits berkata, “Sebuah hadits dianggap ganjil (syadz) bila kebenarannya ditentang oleh hadits yang lebih shahih. Apabila hadits yang menentangnya tidak dipercaya, bahkan lemah, maka hadits tersebut ditinggalkan atau bernilai munkar (tertolak)”.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak disebutkan hal-hal yang mengarah pada larangan bagi kaum perempuan untuk shalat di masjid-masjid. Hadits-hadits tersebut semuanya ditolak. Lalu, bagaimana bila hadits lemah berlawanan dengan Sunnah yang mutawatir dan dikenal? Hadits tersebut harus ditinggalkan semenjak awal.
Agaknya, benarlah prediksi Nabi Saw bahwa telah tiba masanya ketika hadits-hadits shahih terkebur oleh egosime keagamaan yang didominasi oleh kelompok-kelompok fanatik yang tidak tahu kecuali riwayat-riwayat yang ditinggalkan dan munkar. Monopoli tafsiran agama mereka seringkali menyakitkan sesama Muslim lainnya dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan kesesatan beragama yang harus ditumpas habis. Jalan dakwah ini seringkali melupakan kewajiban menjaga ukhuwwah diantara ummat Islam yang seharusya menjadi prioritas setiap da’i.
Islam Membebaskan Wanita
Jika dicermati lebih dalam, Islam tidak pernah menghalangi kemajuan kaum wanita. Sebaliknya, dari hasil kajian hadits-hadits di atas sanggup dipahami bahwa Islam memberi ruang kebebasan bagi kaum hawa dengan batasan-batasan yang justru menjaga kehormatannya. Larangan terhadap kaum perempuan untuk pergi ke masjid bisa diterima ketika mereka berhias secara hiperbola (tabarruj). Dan mencegah perempuan dari perbuatan tercela harus dilakukan dengan merealisasikan wasiat Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa mereka (kaum wanita) boleh keluar dengan mengenakan baju biasa, atau dengan penampilan sederhana, tidak menggunakan wangi-wangian dan bergaya. Sedangkan mengeluarkan aturan wacana larangan pergi ke masjid-masjid bagi perempuan terang merupakan cara yang tidak ada kaitannya dengan Islam.
Karena itu, bila seorang perempuan telah melaksanakan tugas-tugas domestik di rumahnya, suami tidak berhak melarangnya untuk pergi ke masjid, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Yang Mahakuasa perhgi ke masjid-masjid-Nya”. Pernyataan ini sejalan dengan kebijakan dia yang telah menjadikan satu pintu dari pintu-pintu masjid khusus untuk kaum perempuan dan dia menempatkan wanita-wanita dalam jamaah pada barisan paling belakang dalam masjid. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga mereka ketika ruku’ dan sujud. Dan dia mencela pria yang mendekati barisan kaum perempuan dan juga mencela perempuan yang mendekati barisan kaum laki-laki.
Kebebasan seorang perempuan muslim juga tidak akan terganggu lantaran posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketika Islam mewajibkan suami untuk memberi nafkah keluarganya, maka pada hakikatnya dia memberi ganti kepada kaum perempuan untuk kekosongan waktunya, untuk berkiprah demi kebaikan rumah tangganya, membesarkan anak-anaknya dan mencurahkan segenap perhatiannya dalam menunaikan tugas-tugas alamiahnya. “Wanita bagus yang melupakan perhiasannya dan menyibukkan diri dengan mengasuh anak-anaknya sehingga parasnya berubah yaitu perempuan yang harus menerima penghargaan dan kedudukan tinggi”. Ungkapan tersebut boleh jadi benar, tetapi penerapannya sangat ditentukan oleh kondisi masing-masing rumah tangga dan prioritas kemaslahatannya.
Yang terpenting dari itu semua, sebuah keluarga harus mempertahankan tiga hal yang menjadi pilar kebahagiaannya yaitu ketenangan, cinta dan sikap yang saling menyayangi. Kasih sayang bukanlah homogen perhatian dalam bentuk benda, tetapi merupakan sumber bagi kehangatan yang terus mengalir, sedangkan darahnya yaitu akhlak dan tingkah laris yang mulia. Ketika rumah tangga berdiri kukuh di atas kedamaian dan ketenteraman, cinta yang terbalas, dan kasih sayang yang hangat , maka perkawinan menjadi anugerah yang mulia dan harta yang penuh berkah. Ia akan bisa mengatasi banyak sekali rintangan dan lahirnya keturunan-keturunan yang baik. Dan, keputusan untuk menikmati kemuliaan menjadi ibu rumah tangga yaitu langkah penting untuk mewujudkan itu semua.*
Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Lc. M.Sh
Penulis yaitu Sekjen Andalusia Islamic Centre & Dosen STEI Tazkia Bogor
0 Response to "Kemuliaan Ibu Rumah Tangga"
Posting Komentar